Kamis, 19 Juli 2012

Dalam Penentuan Ramadhan, Siapa yang Harus Diikuti?


Tanya :

Ustadz, dalam penentuan Ramadhan siapa yang harus diikuti umat? Apakah wajib mengikuti pemerintah sekarang ini?

Jawab :

Yang diwajib diikuti oleh kaum muslimin dalam penentuan awal Ramadhan, sesungguhnya hanyalah ulil amri (penguasa) dalam negara Khilafah, yaitu khalifah bukan yang lain. (Muqaddimah Ad Dustur, 1/21). Sebab hanya khalifah itulah yang memenuhi syarat-syarat sebagai ulil amri yang sah dan wajib ditaati umat, sebagaimana firman Allah SWT :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ



”Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa` [4] : 59).

Ulil amri (penguasa) ada dua macam; pertama, ulil amri yang sah menurut syara’ dan wajib ditaati oleh umat Islam. Dalam hal ini umat Islam tidak boleh memberontak (al-khuruj) kepada ulil amri ini serta wajib memberikan nasihat atau muhasabah kepadanya jika dia lalai atau menyalahi Syariah Islam.

Kedua, ulil amri yang tidak sah menurut syara’ dan tidak wajib ditaati oleh umat Islam. Dalam hal ini umat Islam boleh memberontak (al-khuruj) kepada ulil amri ini, namun hanya terbatas memberontak secara politik, yakni sikap politik tidak taat (membangkang), bukan memberontak dengan senjata (perang). Umat Islam wajib melakukan muhasabah politik secara tegas kepada ulil amri semacam ini. (Lihat Al Waie [Arab], No 295-297, Juli-September 2011, hlm. 205-206).

Ulil amri yang sah wajib memenuhi 3 (tiga) syarat; pertama, wajib memenuhi 7 (tujuh) syarat khalifah, yaitu muslim, laki-laki, merdeka (bukan budak), berakal, baligh, adil (tidak fasik), dan berkemampuan (ahlul kifayah wa al qudrah). Jadi kalau ada satu atau lebih dari tujuh syarat itu yang tidak terpenuhi, maka dengan sendirinya ulil amri yang ada tidak sah menurut syara’. Misalnya, beragama non Islam, berjenis kelamin perempuan, gila, masih anak-anak (belum baligh), berbuat fasik (misalnya berzina, terlibat riba, suap, dsb), atau tidak mampu baik secara fisik (misalnya sakit berat) maupun tidak mampu dalam arti tidak cakap menjalankan roda pemerintahan Islam. Dalil-dalil syar’i terperinci untuk ketujuh syarat ini telah diuraikan dalam kitab Muqaddimah Ad Dustur, Beirut : Darul Ummah, 2009, Juz I hlm. 130-133.

Kedua, wajib dibai’at oleh umat secara syar’i dan sahih untuk melaksanakan kekuasaan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Jadi kalau penguasa yang ada tidak dibai’at oleh umat untuk melaksanakan Al Qur`an dan As Sunnah, berarti dia ulil amri yang tidak sah. Sebab bai’at tiada lain adalah akad (kontrak) politik penyerahan kekuasaan dari umat kepada seseorang yang diangkat menjadi khalifah untuk melaksanakan Al Qur`an dan As Sunnah. Dalil-dalil kewajiban bai’at secara garis besar ada dua, yaitu pembaiatan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW dan perintah Rasulullah SAW kepada umat Islam untuk membaiat seorang imam (khalifah), seperti sabda Rasulullah SAW :

مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ

”Barangsiapa membaiat seorang imam lalu memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaati imam itu sekuat kemampuan dia…” (HR Muslim, no 1844). (Muqaddimah Ad Dustur, 1/139)

Ketiga, wajib segera menerapkan Syariah Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Jadi kalau penguasa yang ada tidak menerapkan Syariah Islam, atau hanya menerapkan Syariah Islam secara parsial, atau bahkan memusuhi Syariah Islam, berarti dia ulil amri yang tidak sah. Sudah maklum bahwa menerapkan Syariah Islam secara keseluruhan adalah wajib, sesuai firman Allah SWT :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً

”Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.” (QS Al Baqarah [2] : 208). (Al Waie [Arab], No 295-297, hlm. 205-206).

Berdasarkan tiga syarat ulil amri di atas, maka dapat dikatakan bahwa para penguasa Dunia Islam saat ini, entah itu di Libia, Suria, Sudan, Tunisia, Mesir, Yaman, Arab Saudi, juga para penguasa negara-negara Teluk, Iran, Turki, Asia Tengah, Asia Tenggara, dan lain-lain, semuanya adalah ulil amri yang tidak sah dan tidak wajib ditaati, termasuk dalam penentuan puasa Ramadhan. (Al Waie [Arab], No 295-297, hlm. 206). Wallahu a’lam. (www.konsultasi.wordpress.com)

Kutipan : http://konsultasi.wordpress.com/2012/07/17/dalam-penentuan-ramadhan-siapa-yang-harus-diikuti. Muhammad Shiddiq Al Jawi

Jumat, 13 Juli 2012

Perbedaan penentuan puasa LAKNAT bukan RAHMAT

Perbedaan awal puasa antar negara adalah hal yang bisa difahami, walau pun tidak mesti terjadi pada masa sekarang yang serba canggih bahwa setelah konjungsi hilal sudah muncul di atas horizon setelah terbenam matahari.

Hal itu disampaikan staf pengajar pada Islamic University of Europa, Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA kepada detikcom, Sabtu (14/7/2012).

"Namun jika perbedaan awal Ramadan di satu negara apalagi di kota yang sama seperti Jakarta bahkan di satu gang yang sama, maka itu bukan lagi rahmat, namun laknat bagi umat Islam di tanah air," ujar Sofjan.

Menurut Sofjan, perbedaan penetapan awal Ramadan sejak dulu bukan karena beda methode antara rukyah dan hisab, namun karena gengsi antara Muhammadiyah yang menerapkan methode horizon bebas dan Kemenag yang didominasi pemikiran horizon lokal.

"Karena methode apa pun yang pdipakai jika masing-masing pihak memahami bahwa tujuan dari rukyah dan hisab adalah sama yaitu hilal, pasti bisa ketemu dan puasa bersama," tandas Sofjan.

Lanjut Sofjan, hakekat dan esensi perintah merukyah bukan ibadah dan tidak boleh disakralkan, tapi justru adalah untuk mengetahui apakah hilal sudah muncul atau belum. Jika kita sudah tahu hilal jauh sebelumnya, mengapa lajnatul isbath Kemenag dan ormas islam lainnya harus menunggu 29 Syaban setiap tahun untuk observasi hilal?

Jika hilal sudah diyakini pasti muncul, mungkin dilihat di tempat lain, namun tidak mungkin dilihat di Indonesia, mengapa Kemenag harus mengerahkan massa memantau hilal di beberapa titik di tanah air pada 29 Syaban?

"Artinya kenapa anggaran observasi dialokasikan dan dicairkan padahal sudah tahu haqqulyakin bahwa hilal untuk tahun ini pada tanggal tersebut tidak bisa dirukyah?Bukankah ini suatu pembodohan umat?," gugat Sofjan.

Dijelaskan, untuk tahun ini konjungsi matahari dan bulan terjadi pada Kamis 19 Juli 2012 pukul 04.24 UT, 07.24 waktu Mekkah. Kondisi hilal di Indonesia sulit dirukyah karena ketinggian hilal kurang dari 2 derajat, walau pun sebenarnya ketinggian hilal 1 derajat pun pernah bisa dirukyah pada 1971 di Indonesia.

Yang jelas, lanjut Sofjan, hilal sudah ada setelah matahari terbenam dan berumur lebih dari 8 jam setelah konjungsi. Kemungkinan dilihat di Mekkah ada selama sekitar 6 menit setelah matahari terbenam pada pukul 19.05 waktu setempat, lalu hilal tenggelam pada pukul 19.11.

Dalam pandangan Sofjan, hanya ada satu solusi yaitu bubarkan lajnatul isbat dan ganti dengan lajnatul falak. Artinya, tidak mesti kumpul dan kongko-kongko lagi di Kemenag pada setiap tanggal 29 Syaban, tapi tentukan jauh sebelumnya bahwa puasa jatuh pada hari sekian dan tanggal sekian.

Kemenag tahun ini harus berani menggunakan otoritasnya untuk mengumumkan awal puasa beberapa hari sebelum akhir Syaban dan menyiarkan puasa serentak pada 20 Juli 2012. Kemenag harus membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lilalamin bukan laknatan lilalamin.

"Adalah suatu kesalahan besar jika beberapa ormas Islam dan lajnatul isbath Kemenag masih bersikeras mempertahankan tradisi dan adat yang tidak ada kaitannya dengan ibadat. Merukyah sendiri, dengan melakukan methode horizon lokal, berarti mempersempit rahmat dan menyebar laknat terhadap umat Islam di tanah air," demikian Sofjan.

Kutipan detik.com 14 Juli 2012